A.
Konsep
Dasar Mengajar
1. Mengajar sebagai proses menyampaikan
materi pembelajaran
Kata “teach”
ataau mengajar berasal dari bahasa Inggris kuno, yaitu taecan. Kata ini berasal dari Bahasa Jerman kuno (Old Teutenic),
taikjan, yang berasal dari kata teik, yang berarti memperlihatkan. Kata
tersebut ditemukan dalam bahasa Sanskerta, dic,
yang dalam bahasa jerman kuno dikenal dengan deik. Istilah mengajar (teach) juga berhubungan dengan token yang berarti tanda atau simbol.
Kata token juga berasal dari Bahasa Jerman kuno, taiknom,yaitu pengetahuan dari taikjan.
Dalam bahasa inggris kuno taecan
berarti to teach (mengajar). Dengan
demikian, token dan teach secara historis memiliki
keterkaitan. To teach (mengajar)
dilihat dari asal usul katanya berarti memperlihatkan sesuatu kepada seseorang
melalui tanda atau simbol; penggunaan tanda atau simbol itu dimaksudkan untuk
membangkitkan atau menumbuhkan respons mengenai kejadian, seseorang, observasi,
penemuan dan lain sebagainya. Sejak tahun 1500-an, definisi mengajar (teaching)
mengalami perkembangan secara terus menerus.
Secara deskriptif mengajar diartikan sebagai proses
penyampaian informasi ataau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses
penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam
proses mengajar, sebagai proses menyampaikan pengetahuan akan lebih tepat jika
diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukakan Smith
(1987) bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching
is imparting knowledge or skill).
Sebagai proses menyampaikan atau menanamkan ilmu
pengetahuan maka mengajar mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
a. Proses pengajaran beroriertentasi pada guru
(teacher centered).
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru memegang peran
yang sangat penting. Sehubungan dengan proses pembelajaran yang berpusat pada
guru maka minimal ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru yaitu pertama, sebagai perencana pembelajaran,
sebelum proses pengajaran guru harus menyiapkan berbagai hal yang diperlukan
seperti materi apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya,
media apa yang harus digunakan dan lain sebagainya. Kedua, sebagai penyampai informasi, sering guru menggunakan metode
ceramah sebagai metode utama. Ketiga, sebagai
evaluator guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi keberhasilan
pengajaran. Biasanya kriteria keberhasilan proses pengajaran diukur dari sejauh
mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru.
b. Siswa sebagai objek belajar.
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi
pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi
pelajaran. Mereka dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami
apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut
memahami segala sesuatu yang diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai
penerima informasi yang diberikan guru. Sebagai objek belajar, kesempatan siswa
untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk
belajar sesuai dengan gayanya, sangat terbatas. Sebab, dalam proses
pembelajaran segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.
c. Kegiatan pengajaran terjadi pada tempat dan
waktu tertentu.
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu,
misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat sehingga siswa
hanya belajar manakala ada kelas yang telah didesain sedemikian rupa sebagai
tempat belajar. Adanya tempat yang telah ditentukan, sering proses pengajaran
terjadi sangat formal. Demikian juga halnya dengan waktu yang diatur sangat
ketat misalnya jadwal pelajaran.
d. Tujuan utama pengajaran adalah penguasaan materi
pelajaran.
Keberhasilan suatu proses pengajaran diukur dari
sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru.
Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari materi
pelajaran yang diberikan di sekolah. Sedangkan, mata pelajaran itu sendiri
adalah pengalaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan
logis kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya isi buku itu
yang harus dikuasai siswa. Oleh karena itu kriteria keberhasilan ditentukan
penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan adalah tes hasil
belajar tertulis (paper and pencil test)
yang dilaksanakan secara periodik.
2. Mengajar sebagai Proses Mengatur Lingkungan.
Pandangan lain mengajar dianggap sebagai proses
mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam konsep ini yang
penting adalah belajarnya siswa. Oleh karena itu, yang penting dalam mengajar
adalah proses mengubah perilaku. Dalam konteks ini mengajar tidak ditentukan
oleh lamanya serta banyaknya materi yang disampaikan tetapi dari dampak proses
pembelajaran itu sendiri.
Terdapat beberapa karakteristik dari konsep mengajar
sebagai proses mengatur lingkungan yaitu:
a. Mengajar Berpusat pada Siswa (Student Centered)
Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar sesuai dengan
gayanya sendiri. Dengan demikian, peran guru berubah dari peran sebagai sumber
belajar menjadi peran sebagai fasilitator artinya guru lebih banyak sebagai
orang yang membantu dan membimbing siswa untuk mau dan mampu belajar. Tujuan
utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu, kriteria
keberhasilan proses mengajar tidak diukur dari sejauh mana siswa telah
menguasai materi pelajaran tetapi sejauh mana siswa melakukan proses belajar.
Siswa tidak dianggap sebagai objek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh
kemauan guru melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek yang belajar sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya.
b. Siswa sebagai Subjek Belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur
lingkungan, siswa tidak dianggap sebagai organisme yang pasif yang hanya
menerima informasi akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang
memiliki kemampuan dan potensi untuk berkembang.
c. Proses Pembelajaran berlangsung di mana
saja
Sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang
berorientasi kepada siswa, maka proses pembelajaran bisa terjadi dimana saja.
Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan
sifat materi pelajaran.
d. Pembelajaran Berorientasi pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi
pelajaran akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai. Untuk itulah metode dan strategi yang digunakan guru
tidak hanya sekedar metode ceramah, tetapi menggunakan berbagai metode, seperti
diskusi, penugasan kunjungan ke objek-objek tertentu dan lain-lain.
B.
Perlunya Perubahan Paradigma tentang
Mengajar
Ada tiga alasan yang menuntut terjadinya perubahan paradigma mengajar
dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar
sebagai proses mengatur lingkungan.
a.
Siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini
akan tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat
melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat
mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal
misalnya guru. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi
yang diperlukan akan tetapi ia harus
mampu menyeleksi berbagai informasi yang dianggap perlu dan penting untuk
kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai
informasi yang menyesatkan dan guru harus berperan sebagai pengelola sumber
belajar untuk dimanfatkan siswa itu sendiri.
b.
Ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan
kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang-cabang
keilmuan. Belajar, tidak hanya sekedar menghafal informasi, menghafal
rumus-rumus, tetapi bagaimana menggunakan informasi dalam pengetahuan itu untuk
mengasah kemampuan berfikir.
c.
Penemuan-penemuan baru khusunya dalam bidang
psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku
manusia. Orang sekarang lebih percaya, bahwa manusia adalah organisme yang
memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif holistic bukan lagi aliran behavioristik.
Ketiga hal diatas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar
jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran atau memberikan
stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai
proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan
potensi yang dimilikinya.
Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan
lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang
memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang
dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran. Yang dapat
diartikan sebagai proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah
perilaku siswa kearah yang positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan
perbedaan yang dimiliki siswa. Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam
dunia pendidikan di Amerikaa Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh
aliran psikologi kognitif holistic yang menempatkan siswa sebagai sumber dari
kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
yang diasumsikan untuk mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat
berbagai maccam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar,
audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan
peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber
belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini
seperti diungkapkan oleh Gagne (1992:3) yang menyatakan bahwa, “instruction is a set of event that effect
learners in such a way that learning is facilitated.” Oleh karena itu
menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran
(instruction), dimana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang
atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan
atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.
Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan
hasil-hasil teknologi yang dapat dimnfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa
diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga
dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh,
bahkan secara individual mempelajari bahan pembelajaran. Dengan demikian, kalau
dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau
“teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi,
maka dalam “instruction” guru lebih
banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas
untuk dipelajari siswa.
C. Makna Mengajar Dalam Strategi Proses Pendidikan
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya
sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses
mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain dari mengajar sering
diistilahkan dengan pembelajaran. Hal
yang mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan
sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak,
peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu
memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kopetensi yang
diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan
perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajaran sepanjang
hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
Dalam implemantasinya, walaupun istilah yang digunakan
“pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai
pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar itu juga
bermakna membelajarkan siswa. Belajar mengajar adalah dua istilah yang memiliki
satu makna yang tidak dapat dpisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang
dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar dan belajar diistilahkan Dewey sebagai
“menjual dan membeli”_Teaching is to learning ass selling to buying. Artinya,
seseorang tidak mungkin akan menjual, manakala tidak ada orang yang membeli,
yang berarti tak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang
belajar. Dengan demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar
siswa. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal,
demikian juga halnya dengan siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas diatas,
hanya menunjukan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa
terhadap materi dan proses pembelajaran. Dari uraian itu, maka terlihat jelas
bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menunjukan pada usaha siswa
mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru. Disini jelas, proses pembelajaran yang
dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan guru. Yang membedakan
hanya pada peranananya saja.
Bruce Weil (1980) mengemukakan tiga prinsip penting dalam
proses pembelajaran, yaitu :
§ Pertama,
proses pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk
atau mengubah struktur atau kognitif siswa.
§ Kedua,
berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe
pengetahuan yaitu: 1) Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat
dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana
objek itu berinteraksi satu dengan yang lainnya. 2) Pengetahuan sosial
berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu sistem sosial atau hubungan
antara manusia yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Contoh pengetahuan
tentang aturan hukum, moral, nilai, bahasa, dan lain sebagainya. 3) Pengetahuan
logika berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan yang dibentuk
berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian tertentu.
§ Ketiga,
dalam proses pembelajaran harus melibatkan peran lingkungan sosial. Anak akan lebih baik mempelajari pengetahuan
logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui pergaulan dan hubungan sosial,
anak akan belajar lebih efektif dibandingkan dengan belajar yang menjauhkan
dari hubungan sosial. Oleh karena itu, melalui hubungan sosial itulah anak akan
berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman dan lain sebagainya, yang
memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
Atas dasar uraian diatas, maka proses pembelajaran harus diarahkan
agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang
cepat berubah, meliputi kopetensi yang dimiliki, yang meliputi kopetensi
akademik, kopetensi okupasional, kopetensi kultural, dan kopetensi temporal.
Dari penjelasan diatas, maka makna pembelajaran dalam
konteks standar proses pendidikan ditunjukan oleh beberapa ciri yang dijelaskan
berikut ini.
1. Pembelajaran
adalah proses berpikir
Belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan
kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara
individu dengan lingkungan. Menurut Bettencourt (1985) mengajar dalam berpikir
adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dalam proses
pembelajaran La Costa (1985) mengklafikasikan mengajar berpikir menjadi tiga,
yaitu 1) Teaching of thinking adalah
proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental
tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan
lain sebagainya. 2) Teaching for thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan
pada usaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap
perkembangan kognitif. 3) Teaching about
thinking adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar
siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya.
2. Proses
pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak
secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian,
yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki
spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan
tertentu. Proses berpikir otak kiri, bersifat logis, skuensial, linier, dan
rasional. Sisi ini sangat teratur. walaupun berdasarkan realitas, ia mampu
melakuka penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk
tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audotorial,
menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbolis (De porter, 1992).
3. Pembelajaran
berlangsung sepanjang hayat
Belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah
berhenti dan tidak terbatas, pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada
asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah
atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai tujuannya, manusia
akan dihadapkan beberapa rintangan. Dikatakan manusia yang berhasil sukses
manakala ia dapat menebus rintangan itru, dan dikatakan manusia gagal manakala
ia tidak dapat melewati rintangan yang dihadapinya. Atas dasar itulah sekolah berperan sebagai
wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan
bagaimana cara belajar, siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang
dihadapi sampai akhir hayatnya.
Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah
dikemukakan diatas sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang
dirumuskan oleh UNESCO (1996), yaitu 1) Learning
to know atau learning to learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada
dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi
juga harus berorientasi kepada proses belajar. 2) Learning to do mengandung pengertian bahwa belajr itu bukan hanya
sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi
belajar untuk berbuat ddengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat
diperlukan dalam era persaingan global. 3) Learning
to be mengandung pengertian belajar adalah mebentuk manusia yang “menjadi diri
sendiri“. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasi dirinya sendiri
sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai
manusia. 4) Learning to live together adalah
belajar untuk bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan
kebutuhan dalam masyarakat global dimana manusia baik secara individual maupun
secara kelompok tak mungkin bisa hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama
kelompoknya.
D. Teori-teori Belajar
Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari
pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan: “Learning is the process by wich an activity originates or changed
through training procedurs (wether in the laboratory or in the natural
environment) as distinguished from changes by factors not atributable to
training.” Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui
kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam
lingkungan alamiah. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri
seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat
dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang
belajar tidak dapat kita saksikan.
Menurut John Locke, manusia merupakan organisme yang pasif. Ia menganggap bahwa
manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa kertas itu sangat
tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan itu, memunculkan aliaran
belajar behavioristik-elementeristik.
Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia
merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk
berbuat; manusia bebas untuk memembuat suatu pilihan dalam setiap situasi.
Titik pusatnya adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku
manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi
internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan ini melahirkan
aliaran beljar kognitif-holistik. Berangkat dari proses manusia yang berbeda,
dalam menjelaskan terjadinya perilaku, kedua aliran teori belajar, yaitu aliran
behavioristik-elementeristik dan aliran kognitif-holistik, memiliki perbedaan
pula. Perbedaan keduanya seperti dapat dilihat pada table dibawah ini.
Perbedaan
Aliran Behavioristik dan Kognitif
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
|
TEORI BELAJAR KOGNITIF
|
Mementingkan pengaruh lingkungan
|
Mementingkan apa yang ada dalam diri
|
Mementingkan bagian-bagian
|
Mementingkan keseluruhan
|
Mengutamakan peranan reaksi
|
Mengutamakan fungsi kognitif
|
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
|
Terjadi keseimbangan dalam diri
|
Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
|
Tergantung pada kondisi saat ini
|
Mementingkan pembentukan kebiasaan
|
Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
|
Memecahkan masalah dilakukan dengan cara trial and error
|
Memecahkan masalah didasarkan kepada insight
|
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan
asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk
bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu,
teori ini juga disebut dengan teori Stimulus-Respon. Belajar adalah upaya untuk
membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.
Teori-teori belajar yang termasuk kedalam kelompok behavioristik
diantaranya:
a.
Koneksionisme, dengan tokohnya Thorndike
b. Classicak conditioning,
dengan tokohnya Pavlop
c. Operant
conditioning, yang dikembangkan oleh skinner
d. Systematic
behavior, yang dikembangkan oleh Hull
e. Contiguous
conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrin
Sedangkan teori-teori yang termasuk kedalam kelompok kognirif holistic
diantaranya :
a. Teori
Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wertheimer
b. Teori Medan
(Field Theory), dengan tokohnya Lewin
c. Teori
Organismik, yang dikembangkan oleh Wheeler
d. Teori
Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers
e. Teori
Konstruktivistik, dengan tokohnya Jean Piaget
1.
Beberapa
Teori Belajar Behavioristik
a. Teori Belajar Koneksionisme
Dikembangkan oleh Thorndike (1913), menurut teori ini, belajar pada hewan
dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama.Dasar
terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap
panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara
stimulus-respon (S-R). Oleh karena itu lah teori ini juga dinamakan teori
Stimulus-Respon.
Selanjutnya, dalam teori koneksionisme ini Throndike mengemukakan
hukum-hukum belajar sebagai berikut:
a) Hukum Kesiapan (law of readiness)
Menurut hukum ini, hubungan antara stimulus dan
respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu.
b) Hukum latihan (law of exercise)
Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya
hubungan stimulus dan respons. Hubungan atau koneksi antara kondisi (yang
merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan
(law of use); dan koneksi-koneksi itu akan menjadi lemah karena latihan tidak
dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse). Implikasi dari hukum ini adalah
makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasailah pelajaran
itu.
c) Hukum akibat (law of effect)
Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan
stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Disamping
itu, konsep penting dari teori belajar koneksionisme, Throndike adalah yang dinamakan
transfer of training.
b. Teori Belajar Classical Conditioning
Seperti
halnya dengan Thorndike, Pavlop dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya
bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar
atau pembentukan perilaku dibantu dengan kondisi tertentu. Untuk membentuk
tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan
pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam
pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu.
c. Operant Conditioning
Dikembangkan oleh Skinner, merupakan pengembangan dari teori Stimulus Respon. Berbeda
dengan tokoh lainnya, Skinner membedakan dua macam respon, yakni respondent
response (reflexive response) dan operant response (instrumental
response). Respondent response adalah respon yang ditimbulkan oleh
perangsang-perangsang tertentu. Respon ini relatif tetap, artinya setiap ada
stimulus semacam itu akan muncul respon tertentu.
Dengan demikian perangsang-perangsang yang
demikian itu mendahului respon yang ditimbulkan. Operant response (instrumental
response) adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian disebut reinforcer,
karena perangsang-perangsang tersebut memperkust respon yang telah dilakukan
organisme. Jadi dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat
suatu tingkah laku yang telah dilakukan.
Pada
perilaku manusia respondent response bersifat sangat terbatas, oleh karena itu
sangat kecil untuk dimodifikasi. Sebaliknya operant response (instrumental
response) sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat
dimodifikasi sangat besar. Dengan demikian, untuk mengubah tingkah laku kita
dapat menggunakan instrumental response.
Skinner
berpendapat bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau
dipecah-pecahkan menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang
spesifik. Selanjutnya, agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan pada
setiap tingkah laku yang spesifik yang telah direspon, perlu diberikan hadiah
(reinforcer) agar tingkah laku itu terus menerus diulang, serta untuk
memotivasi agar berlanjut kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai
akhirnya pada pembentukan tingkah laku puncak yang diharapkan.
Setiap komponen atau tingkah laku yang spesifik yang
telah direspon anak perlu diberikan hadiah atau penguatan yang dapat
menimbulkan rasa senang. Dengan demikian, anak akan terus mengulang perilaku
tersebut dan melanjutkan pada komponen perilaku berikutnya.
2.
Teori
Belajar Kognitif
1) Teori
Gestalt
Dikembangkan oleh Kofka, Kohler, Wertheimer. Menurut
teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah
pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku
itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight.
Namun teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari
pembentukan tingkah laku. Belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan
keterhubungan antara komponen yang ada dilingkungannya.
Insight yang merupakan inti dari belajar
menurut teori gestalt, memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a). Kemampuan insight
seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangkan
kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam
kelompoknya.
b). Insight
dipengarauhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
c). Insight tergantung
kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
d). Pengertian
merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat
memecahlan persoalan. Pengertian itulah yang bisa menjadi kendaraan dalam
memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
e). Apabila insight
telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi
lain. Disini terdapat semacam transfer belajar , namun yang ditransfer bukanlah
materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi dan generalisasi yang diperoleh
melalui insight.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini ( Nasution,1982):
a.
Belajar
itu berdasarkan keseluruhan
Berbeda
dengan teori belajar behavioristik yang menganggap bagian-bagaian lebih penting
dari keseluruhan, namun teori ini justru menganggap bahwa keseluruhan itu lebih
memiliki makna dari bagian-bagaian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada
dalam keseluruhan. Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat.
Demikian juga kelaimat akan memiliki makna apabila ada dalam suatu rangkaian
karangan.
Makna dari
prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta,
akan tetapi mesti berangkat dari suatu maslah. Melalui maslah ini siswa dapat
mempelajarai fakta.
b.
Anak yang
belajar merupakan keseluruhan
Prinsip
ini mengandung pengertian bahwa mempelajarai anak itu bukan hanya mengembangkan
intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya.
Apa artinya kemampuan intelektual manakala tidak
diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi
yang ada dalam diri anak. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori
anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan
potensi yang ada di dalam diri anak.
c.
Belajar
berkat insight
Telah
diketahui bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di
dalam suatu situasi permaslahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi
manakala dihadapkan pada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar
bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu, anak akan
mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.
d.
Belajar
berdasarkan pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan
setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi
pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus menerus disempurnakan. Inilah
hakikat pengalaman. Dengan demikian, proses pembelajaran adalah proses
memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.
2) Teori
Medan
Dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori Gestalt, teori ini menganggap
bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang berkaitan
dengan proses pemecahan maslah menurut Lewin dalam belajar adalah :
a). Belajar
adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah
jika ia bisa mengubah struktur kognitif.
b). Pentingnya
motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk
berperilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Terkadang untuk
mendapatkan daya tarik tersebut itu, seseorang dapat melakukan hal-hal yang
tidak seharusnya dilakukan. Itulah sebabnya selain diperlukan faktor pendorong
melalui hadiah, juga diperlukan hukuman terutama apabila terjadi gejala-gejala
perilaku yang tidak sesuai. Disamping itu, motivasi juga bisa muncul karena
pengalaman yang menyenangkan.
3) Teori
Konstruktivitik
Dikembangkan oleh Piaget. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu
sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi
pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui
proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakana. Pengetahuan
tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
Mengkonstruksi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi
dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif
yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempurnaan
skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan
skema.
Sumber buku:
Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta, Kencana.
2009.
No comments:
Post a Comment