Tuesday, January 22, 2013

Pendidikan Agama Membangun Moral Peserta Didik



A. Pengertian Pendidikan Agama

Kata “Pendidikan Agama” terdiri dari dua kata berbeda, yaitu “pendidikan” dan “agama”. Pendidikan berasal dari kata “didik” yang diberi awalah “pe” dan akhiran “an” yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik.
Pengertian pendidikan menurut istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak mempunyai sifat-sifat dan tabi’at sesuai cita-cita pendidikan.
Sedangkan agama menurut Ensiklopedia Indonesia diuraikan sebagai berikut: “Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Sehingga dengan demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam agama, baik tata aturan kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama kehidupan manusia menjadi teratur, tentram dan bermakna. Sedangkan agama (wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasulNya, kepada kitab-kitabNya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.
Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ”pendidikan agama” adalah suatu usaha yang ditunjukkan kepada anak didik yang sedang tumbuh agar mereka mampu menimbulkan sikap dan budi pekerti yang baik serta dapat memelihara perkembangan jasmani dan rohani secara seimbang dimasa sekarang dan mendatang sesuai dengan aturan agama.
Akhlak, Moral dan Etika. Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan ketiga term di atas, yaitu: Akhlak, moral dan etika.
Secara etimologi kata akhlak adalah bentuk jama dari kata “khuluk”, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, sedangkan menurut Ahmad Amin akhlak itu adalah kebiasaan kehendak. Secara terminologi akhlak itu berarti “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah serta tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Ada pula yang mengartikan akhlak dengan “Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa berfikir dan melalui pertimbangan lebih dahulu”. Dari dua pengertian di atas tampak bahwa tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara keduanya. Dalam masyarakat barat kata “akhlak” sering diidentikkan dengan “etika”, walaupun pengidentikan ini tidak sepenuhnya benar, maka mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa “etika” adalah penyelidikan tentang sifat dan tingkah laku lahiriah manusia. Sedangkan akhlak menurut M. Quraish Shihab lebih luas maknanya dari etika serta mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran.
Terlepas dari semua pengertian di atas, kata akhlak dalam penggunaannya sering disamakan dengan kata “moral” dan “etika”. Istilah moral yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin, yaitu “mores” yang berarti adat kebiasaan, sedangkan etika berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti kebiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal dengan arti susila. Moral mengandung arti praktis, ia merupakan ide-ide universal tentang tindakan seseorang yang baik dan wajar dalam masyarakat. Pada dasarnya akhlak, etika dan moral memiliki arti yang sama, ketiganya sama-sama berbicara tentang baik dan buruk perbuatan manusia.
Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Akhlak (etika atau moral) adalah budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik –menurut akal dan syari’at– atau perbuatan buruk. Peserta didik adalah orang yang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Peserta didik adalah hal yang paling penting dalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik, pendidikan tidak akan berlangsung. Lalu apakah benar anak dapat di didik? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli berbeda pandangan. Aliran Nativisme, mempunyai pandangan bahwa anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari pendidikan. Berbeda halnya dengan aliran empirisme yang mempunyai pandangan bahwa perkembangan jiwa anak sangat ditentukan oleh pendidikan atau dengan kata lain baik buruknya anak sangat tergantung pada pendidikan yang diterimanya.
Oleh karena kedua aliran ini terasa kurang memuaskan dalam hal pemberian pendidikan pada anak, maka yang menamakan dirinya aliran convergensi menepis kedua pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa perkembangan jiwa anak sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim)”. Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi oranng yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.

B. Tujuan Pengajaran Pendidikan Agama (Islam)
Pengajaran adalah suatu proses yang didasarkan kepada tujuan. Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan dapat diartikan sebagai suatu usaha memberikan hasil yang diharapkan dari siswa setelah mereka menyelesaikan pengalaman belajar. Tujuan ini sangat penting karena merupakan pedoman untuk mengarahkan kegiatan belajar.
Ada tiga alasan mengapa tujuan pengajaran itu perlu dirumuskan, yaitu:
1.      Jika suatu pekerjaan atau suatu tugas tidak disertai tujuan yang jelas dan benar, akan sulitlah untuk memilih atau merencanakan bahan dan strategi yang hendak ditempuh atau dicapai.
Rumusan tujuan yang baik dan terinci akan mempermudah pengawasan dan penelitian hasil belajar sesuai dengan harapan yang dikehendaki dari subyek belajar. Perumusan tujuan yang benar akan memberikan pedoman bagi siswa atau subyek belajar dalam menyelesaikan materi dan kegiatan belajar.
2.      Rumusan tujuan senantiasa merupakan sifat yang sangat bermanfaat dalam perencanaan dan penilaian sutau program belajar mengajar. Demikian pula dengan pengajaran Pendidikan Agama Islam, agar proses pengajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien, berdasarkan pada tujuan. Menurut Mahmud Yunus, tujuan Pendidikan Agama Islam dalam segala tingkat pengajaran umum sebagai berikut:

a)      Menanamkan perasaan cinta dan taat kepada Allah SWT, dalam hati anak-anak.
b)      Menanamkan i’tikad yang benar dan kepercayaan yang benar dalam diri anak-anak.
c)      Mendidik anak-anak dari kecil supaya mengikuti seruan Allah SWT dan meninggalkan segala larangannya.
d)     Mendidik anak-anak dari kecil berakhlak mulian
e)   Mengajar pelajaran-pelajaran supaya mengetahui macam-macam ibadah yang wajib dikerjakan dan cara-cara melakukannya serta mengetahui hikmahnya, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
f)       Memberi contoh dan suri tauladan yang baik.
g)  Membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang baik, yang berbudi luhur dan berakhlak baik serta berpegang teguh pada ajaran agama Islam.

3.      Tujuan Pendidikan Agama Islam merupakan tujuan yanng hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan Pendidikan Agama Islam, karena dalam pendidikan agama yang diutamakan adalah keimanan yang teguh, sebab iman yang teguh akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban agama. Tujuan tersebut mengandung arti bahwa Pendidikan Agama Islam itu menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya maupun masyarakat dan yang bersangkutan senang mengamalkan dan mengembangkan agama Islam serta mampu memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya.

C. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pendidikan Agama Islam memiliki arti penting terutama dalam rangka mendidik kepribadian seseorang sesuai ajaran Islam. Bahkan dasar hukumnya cukup jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadits, untuk selalu dipelajari dan ditanamkan oleh setiap muslim dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena itulah yang akan menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Prof. Dr. H. M. Arifin, M.Ed., menjelaskan tentang ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam lapangan hidup, meliputi:
a.       Lapangan hidup keagamaan
b.      Lapangan hidup berkeluarga
c.       Lapangan hidup ekonomi
d.      Lapangan hidup politik
e.       Lapangan hidup kemasyarakatan
f.       Lapangan hidup seni dan budaya
g.      Lapangan hidup ilmu pengetahuan
Dilihat pembahasannya ruang lingkup pengajaran Pendidikan Agama Islam, meliputi tujuh pokok, yaitu:
1.      Keimanan
2.      Ibadat
3.      Al-Qur’an
4.      Akhlak
5.      Muamalah
6.      Syari’ah
7.      Tarikh

Seperti yang telah dijabarkan di atas bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke depan. Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan akan membawa perubahan pada setiap orang sesuai dengan tata aturan. Selain itu agama juga mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang menganjurkan umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan istilah long life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan. Misalnya wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah tentang pendidikan, yaitu bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain bahkan dunia dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan). Oleh sebab itu pendidikan agama (Islam) akan memberi “imunisasi” pada jiwa seseorang untuk selalu berada dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, yang selalu mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya.
Pendidikan agama pada dunia pendidikan merupakan modal dasar bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, karena dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang muamalah, ibadah dan syari’ah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah yang menjadikan pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai agama pada anak.
Sebagai contoh, Allah SWT menganjurkan umatnya untuk bershadaqah, dengan shadaqah anak didik diharapkan peduli dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan uluran tangah/bantuan. Shadaqah ini mengajarkan nilai-nilai sosial (muamalah) dalam berinteraksi di masyarakat. Dengan shadaqah seorang anak didik akan merasakan bahwa “saling membutuhkan” pada setiap orang adalah ciri dari kehidupan. Ini merupakan contoh kecil dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dari contoh di atas mengajarkan “simbiosis mutualisme” dalam kehidupan yang menjadikan suatu bukti bahwa betapa pentingnya nilai-nilai agama diajarkan kepada anak, dimana dalam dunia pendidikan dicakup dalam satu bidang garapan yaitu pendidikan agama. Pendidikan agama dalam kehidupan tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, melainkan juga orang tua sebagai contoh nyata dalam kehidupan anak. Bagaimana mungkin anak akan menjadi baik, jika orang tuanya hidup dalam ketidakbaikan. Oleh karena itu pendidikan agama harus ditanamkan kepada anak dimanapun ia berada, baik formal maupun non formal.
Lalu apakah pendidikan agama dapat membentuk moral anak didik? Untuk menjawab pertanyaan ini banyak elemen yang mencakup didalamnya. Secara teoritis seharusnya pendidikan agama dapat membentuk kepribadian anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama yang akhirnya iman dan taqwa kepada Allah SWT. Jika seseorang sudah beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama, menjalankan segala yang diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang. Seiring dengan itu maka moral/etika pun akan tercermin di dalamnya. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertaqwa misalnya, menggunakan narkoba atau hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini menjadi bukti bahwa jika seorang anak telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai agama yang kuat, maka sudah dapat dipastikan moral/etika pada orang tersebut akan terbentuk dengan sendirinya, mengikuti irama iman dan kualitas taqwa yang ada padanya.

Konsep Pendidikan Islam



Secara garis besar, konsepsi pendidikan dalam Islam adalah mempertemukan pengaruh dasar dengan pengaruh ajar. Pengaruh pembawaan dan pengaruh pendidikan diharapkan akan menjadi satu kekuatan yang terpadu yang berproses ke arah pembentukan kepribadian yang sempurna. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam tidak hanya menekankan kepada pengajaran yang berorientasi kepada intelektualitas penalaran, melainkan lebih menekankan kepada pendidikan yang mengarah kepada pembentukan keribadian yang utuh dan bulat. Konsep pendidikan islam yang mengacu kepada ajaran Al-Qur’an, sangat jelas terurai dalam kisah Luqman. Dr. M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar menukil beberapa ayat Al-Qur’an dalam Surat Luqman. Beliau mengatakan, ada tiga kaedah asasi pendidikan dalam Islam menurut Al-Qur’an yang dijalankan oleh Luqman kepada anaknya. Seperti diketahui, Luqman diberikan keutamaan Allah berupa Hikmah, yaitu ketepatan bicara, ketajaman nalar dan kemurnian fitrah. Dengan keistimewaannya tersebut, Luqman ingin mengajari anaknya hikmah dan membesarkannya dengan metode hikmah itu pula.
Kaidah pendidikan yang pertama adalah peletakan pondasi dasar, yaitu penanaman keesaan Allah, kelurusan aqidah, beserta keagungan dan kesempurnaan-Nya. Kalimat tauhid adalah focus utama pendidikannya. Tidak ada pendidikan tanpa iman. Tak ada pula akhlak, interaksi social, dan etika tanpa iman. Apabila iman lurus, maka lurus pulalah aspek kehidupannya. Mengapa? Sebab iman selalu diikuti oleh perasaan introspeksi diri dan takut terhadap Allah. Dari sinilah Luqman menegaskan hal itu kepada puteranya dengan berkata, “”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. 31:16). Seorang mukmin mesti berkeyakinan bahwa tak ada satu pun yang bias disembunyikan dari Allah. Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam lipatan hati manusia. Dari sinilah ia akan melakukan seluruh amal dan aktivitasnya semata untuk mencari ridha Allah tanpa sikap riya atau munafik, dan tanpa menyebut-nyebutnya ataupun menyakiti orang lain.
Kaidah kedua dalam pendidikan menurut Luqman adalah pilar-pilar pendidikan. Ia memerintahkan anaknya untuk shalat, memikul tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar, serta menanamkan sifat sabar. Shalat adalah cahaya yang menerangi kehidupan seorang muslim. Ini adalah kewajiban harian seorang muslim yang tidak boleh ditinggalkan selama masih berakal baik. Amar ma’ruf nahi munkar merupakan istilah untuk kritik konstruktif, rasa cinta dan perasaan bersaudara yang besar kepada sesame, bukan ditujukan untuk mencari-cari kesalahan dan ghibah. Ummat islam telah diistimewakan dengan tugas amar ma’ruf nahi munkar ini melalui firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. “ (QS: 3.110). Sabar itu bermacam-macam. Ada sabar atas ketaatan hingga ketaatan itu ditunaikan, ada sabar atas kemaksiatan hingga kemaksiatan itu dihindari, dan ada pula sabar atas kesulitan hidup hingga diterima dengan perasaan ridha dan tenang. Seorang beriman berada di posisi antara syukur dan sabar. Dalam kemuddahan yang diterimanya, ia pandai bersyukur. Sedang dalam setiap kesulitan yag dihadapinya, ia mesti bersabar dan introspeksi diri.
Kaidah ketiga adalah etika social. Metode pendidikan Luqman menumbuhkan buah adab yang luhur serta keutamaan-keutamaan adiluhung. Luqman menggambarkan hal itu untuk putranya dengan larangan melakukan kemungkaran dan tak tahu terima kasih, serta perintah untuk tidak terlalu cepat  dan tidak pula terlalu lambat dalam berjalan, dan merendahkan suara. Seorang muslim perlu diingatkan untuk tidak boleh menghina dan angkuh. Sebab, semua manusia berasal dari nutfah yang hina dan akan berakhir menjadi bangkai busuk. Dan ketika hidup pun, ia kesakitan jika tertusuk duri dan berkeringat jika kepanasan. Sebenarnya, pendidikan dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya menjaga anak keturunan agar memiliki kualitas iman prima, amal sempurna dan akhlak paripurna.   Karena itu, tanpa banyak diketahui, di dalam islam, langkah awal pendidikan untuk mendapatkan kualitas keturunan yang demikian sudah ditanamkan sejak anak bahkan belum terlahir. Apa buktinya? Manhaj islam menggariskan bahwa sebaik-baik kriteria dalam memilih pasangan hidup adalah factor agama, bukan karena paras muka dan kekayaannya.  Sebab, diyakini, calon orang tua yang memiliki keyakinan beragama yang baik tentu akan melahirkan anak-anak yang juga baik. Di dalam ajaran islam, orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Keduanya berkewajiban mendidik anak-anaknya untuk mempertemukan potensi dasar dengan pendidikan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa : “Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, maka kedua orangtuanya yang menjadikan dirinya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Bukhari). Kewajiban ini juga ditegaskan dalam firman-Nya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”. (QS. 20:132). Dalam ayal lain, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Dalam Islam, pentingnya pendidikan tidak semata-mata mementingkan individu, melainkan erat kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Konsep belajar/pendidikan dalam Islam berkaitan erat dengan lingkungan dan kepentingan umat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan senantiasa dikorelasikan dengan kebutuhan lingkungan, dan lingkungan dijadikan sebagai sumber belajar. Seorang peserta didik yang diberi kesempatan untuk belajar yang berwawasan lingkungan akan menumbuhkembangkan potensi manusia sebagai pemimpin. Firman Allah (QS Al Baqarah 30) menyatakan :”Sesungguhnya Aku jadikan manusia sebagai pemimpin (khalifah) di atas bumi”.  Kaitan dengan pentingnya pendidikan bagi umat, Allah berfirman: ”Hendaklah ada di antara kamu suatu ummat yang mengajak kepada kebajikan dan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. 3:104). Konsep pendidikan dalam Islam menawarkan suatu sistem pendidikan yang holistik dan memposisikan agama dan sains sebagai suatu hal yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain, yang secara umum ditunjukkan dalam doa Rasulullah : “Ya Allah, ajarilah aku apa yang membawa manfaat bagiku, serta karuniakanlah padaku ilmu yang bermanfaat”. Dari doa tersebut terungkap bahwa kualitas ilmu yang didambakan dalam Islam adalah kemanfaatan dari ilmu itu. Hal ini terlihat dari hadits Rasulullah : “Iman itu bagaikan badan yang masih polos, pakaiannya adalah taqwa, hiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu.” Pemisahan dan pengotakan antara agama dan sains jelas akan menimbulkan kepincangan dalam proses pendidikan, agama jika tanpa dukungan sains akan menjadi tidak mengakar pada realitas dan penalaran, sedangkan sains yang tidak dilandasi oleh asas-asas agama dan akhlaq atau etika yang baik akan berkembang menjadi liar dan menimbulkan dampak yang merusak. Murtadha Mutahhari seorang ulama, filosof dan ilmuwan Islam menjelaskan bahwa iman dan sains merupakan karakteristik khas insani, di mana manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran dan wujud-wujud suci dan tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu. Ini adalah kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Tetapi di lain pihak manusia pun memiliki kecenderungan untuk selalu ingin mengetahui dan memahami semesta alam, serta memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, sekarang dan masa mendatang (yang merupakan ciri khas sains).
Al-Qur’an berkali-kali meminta manusia membaca tanda-tanda alam, menantang akal manusia untuk melihat ke-MahaKuasa-an Allah pada makhluk lain, rahasia penciptaan tumbuhan, hewan, serangga, pertumbuhan manusia, kejadian alam dan penciptaan langit bumi. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan tentang kejadian-kejadian di sekitar kita yang menuntut pemahaman dengan sains/akal manusia. Karena itu, seorang muslim juga diwajibkan untuk mempelajari sains, karena sains hanyalah salah satu pembuktian kekuasaan Allah, di samping ayat-ayat qauliyah. Karenanya, konsep pendidikan dalam islam menurut Al-Qur’an pun tidak hanya berisi materi-materi pendidikan keagamaan saja. Pendidikan merupakan jalan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah. Secara sepintas bila melihat tujuan pendidikan diatas, terkesan bahwa pendidikan yang diharapkan Al-Ghozali hanya bersifat ukhrowi. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam, pendidikan menurutnya tidak hanya bersifat ukhrowi, bahkan ia mengatakan dunia merupakan manifestasi menuju ke masa depan.
Berangkat dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan juga konsep peserta didik. Menurutnya, peserta didik sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Belajar merupakan proses jiwa.
b. Belajar menuntut konsentrasi
c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’
d. Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya.
e. Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang di pelajari
f. Belajar secara bertahap
g. Tujuan belajar untuk berakhlakul karimah.

Monday, January 21, 2013

Mengajar dan Belajar dalam Standar Proses Pendidikan



     A.    Konsep  Dasar Mengajar
  
       1. Mengajar sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran
Kata “teach” ataau mengajar berasal dari bahasa Inggris kuno, yaitu taecan. Kata ini berasal dari Bahasa Jerman kuno (Old Teutenic), taikjan, yang berasal dari kata teik, yang berarti memperlihatkan. Kata tersebut ditemukan dalam bahasa Sanskerta, dic, yang dalam bahasa jerman kuno dikenal dengan deik. Istilah mengajar (teach) juga berhubungan dengan token yang berarti tanda atau simbol. Kata token juga berasal dari Bahasa Jerman kuno, taiknom,yaitu pengetahuan dari taikjan. Dalam bahasa inggris kuno taecan berarti to teach (mengajar). Dengan demikian, token dan teach secara historis memiliki keterkaitan. To teach (mengajar) dilihat dari asal usul katanya berarti memperlihatkan sesuatu kepada seseorang melalui tanda atau simbol; penggunaan tanda atau simbol itu dimaksudkan untuk membangkitkan atau menumbuhkan respons mengenai kejadian, seseorang, observasi, penemuan dan lain sebagainya. Sejak tahun 1500-an, definisi mengajar (teaching) mengalami perkembangan secara terus menerus. 
Secara deskriptif mengajar diartikan sebagai proses penyampaian informasi ataau pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses penyampaian itu sering juga dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Dalam proses mengajar, sebagai proses menyampaikan pengetahuan akan lebih tepat jika diartikan dengan menanamkan ilmu pengetahuan seperti yang dikemukakan Smith (1987) bahwa mengajar adalah menanamkan pengetahuan atau keterampilan (teaching is imparting knowledge or skill).
Sebagai proses menyampaikan atau menanamkan ilmu pengetahuan maka mengajar mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
       a. Proses pengajaran beroriertentasi pada guru (teacher centered).
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru memegang peran yang sangat penting. Sehubungan dengan proses pembelajaran yang berpusat pada guru maka minimal ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru yaitu pertama, sebagai perencana pembelajaran, sebelum proses pengajaran guru harus menyiapkan berbagai hal yang diperlukan seperti materi apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikannya, media apa yang harus digunakan dan lain sebagainya. Kedua, sebagai penyampai informasi, sering guru menggunakan metode ceramah sebagai metode utama. Ketiga, sebagai evaluator guru juga berperan dalam menentukan alat evaluasi keberhasilan pengajaran. Biasanya kriteria keberhasilan proses pengajaran diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru.
      b. Siswa sebagai objek belajar.
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi pelajaran. Mereka dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar sesuai dengan gayanya, sangat terbatas. Sebab, dalam proses pembelajaran segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.
      c. Kegiatan pengajaran terjadi pada tempat dan waktu tertentu.
Proses pengajaran berlangsung pada tempat tertentu, misalnya terjadi di dalam kelas dengan penjadwalan yang ketat sehingga siswa hanya belajar manakala ada kelas yang telah didesain sedemikian rupa sebagai tempat belajar. Adanya tempat yang telah ditentukan, sering proses pengajaran terjadi sangat formal. Demikian juga halnya dengan waktu yang diatur sangat ketat misalnya jadwal pelajaran.
      d. Tujuan utama pengajaran adalah penguasaan materi pelajaran.
Keberhasilan suatu proses pengajaran diukur dari sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran yang disampaikan guru. Materi pelajaran itu sendiri adalah pengetahuan yang bersumber dari materi pelajaran yang diberikan di sekolah. Sedangkan, mata pelajaran itu sendiri adalah pengalaman-pengalaman manusia masa lalu yang disusun secara sistematis dan logis kemudian diuraikan dalam buku-buku pelajaran dan selanjutnya isi buku itu yang harus dikuasai siswa. Oleh karena itu kriteria keberhasilan ditentukan penguasaan materi pelajaran, maka alat evaluasi yang digunakan adalah tes hasil belajar tertulis (paper and pencil test) yang dilaksanakan secara periodik.
     2. Mengajar sebagai Proses Mengatur Lingkungan.
Pandangan lain mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan dengan harapan agar siswa belajar. Dalam konsep ini yang penting adalah belajarnya siswa. Oleh karena itu, yang penting dalam mengajar adalah proses mengubah perilaku. Dalam konteks ini mengajar tidak ditentukan oleh lamanya serta banyaknya materi yang disampaikan tetapi dari dampak proses pembelajaran itu sendiri.
Terdapat beberapa karakteristik dari konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan yaitu:
    a. Mengajar Berpusat pada Siswa (Student Centered)
Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar sesuai dengan gayanya sendiri. Dengan demikian, peran guru berubah dari peran sebagai sumber belajar menjadi peran sebagai fasilitator artinya guru lebih banyak sebagai orang yang membantu dan membimbing siswa untuk mau dan mampu belajar. Tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa. Oleh sebab itu, kriteria keberhasilan proses mengajar tidak diukur dari sejauh mana siswa telah menguasai materi pelajaran tetapi sejauh mana siswa melakukan proses belajar. Siswa tidak dianggap sebagai objek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya.
     b. Siswa sebagai Subjek Belajar
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, siswa tidak dianggap sebagai organisme yang pasif yang hanya menerima informasi akan tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, yang memiliki kemampuan dan potensi untuk berkembang.
     c. Proses Pembelajaran berlangsung di mana saja  
Sesuai dengan karakteristik pembelajaran yang berorientasi kepada siswa, maka proses pembelajaran bisa terjadi dimana saja. Siswa dapat memanfaatkan berbagai tempat belajar sesuai dengan kebutuhan dan sifat materi pelajaran.
     d. Pembelajaran Berorientasi pada Pencapaian Tujuan
Tujuan pembelajaran bukanlah penguasaan materi pelajaran akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk itulah metode dan strategi yang digunakan guru tidak hanya sekedar metode ceramah, tetapi menggunakan berbagai metode, seperti diskusi, penugasan kunjungan ke objek-objek tertentu dan lain-lain.
B.     Perlunya Perubahan Paradigma tentang Mengajar
Ada tiga alasan yang menuntut terjadinya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
a.       Siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini akan tetapi mereka adalah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal misalnya guru. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang diperlukan akan tetapi  ia harus mampu menyeleksi berbagai informasi yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai informasi yang menyesatkan dan guru harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfatkan siswa itu sendiri.
b.      Ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang-cabang keilmuan. Belajar, tidak hanya sekedar menghafal informasi, menghafal rumus-rumus, tetapi bagaimana menggunakan informasi dalam pengetahuan itu untuk mengasah kemampuan berfikir.
c.       Penemuan-penemuan baru khusunya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahan tingkah laku manusia. Orang sekarang lebih percaya, bahwa manusia adalah organisme yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif holistic bukan lagi aliran behavioristik.
Ketiga hal diatas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran atau memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran. Yang dapat diartikan sebagai proses pengaturan lingkungan yang diarahkan untuk mengubah perilaku siswa kearah yang positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa. Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerikaa Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistic yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan untuk mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai maccam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti diungkapkan oleh Gagne (1992:3) yang menyatakan bahwa, “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated.” Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), dimana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.
Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimnfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari bahan pembelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa.
C. Makna Mengajar Dalam Strategi Proses Pendidikan
Mengajar dalam konteks standar proses pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga dimaknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain dari mengajar sering diistilahkan dengan pembelajaran. Hal yang mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kopetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajaran sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar.
Dalam implemantasinya, walaupun istilah yang digunakan “pembelajaran”, tidak berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai pengajar, sebab secara konseptual pada dasarnya dalam istilah mengajar itu juga bermakna membelajarkan siswa. Belajar mengajar adalah dua istilah yang memiliki satu makna yang tidak dapat dpisahkan. Mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Keterkaitan antara mengajar  dan belajar diistilahkan Dewey sebagai “menjual dan membeli”_Teaching is to learning ass selling to buying. Artinya, seseorang tidak mungkin akan menjual, manakala tidak ada orang yang membeli, yang berarti tak akan ada perbuatan mengajar manakala tidak membuat seseorang belajar. Dengan demikian, dalam istilah mengajar juga terkandung proses belajar siswa. Dalam istilah pembelajaran, guru tetap harus berperan secara optimal, demikian juga halnya dengan siswa. Perbedaan dominasi dan aktivitas diatas, hanya menunjukan kepada perbedaan tugas-tugas atau perlakuan guru dan siswa terhadap materi dan proses pembelajaran. Dari uraian itu, maka terlihat jelas bahwa istilah “pembelajaran” (instruction) itu menunjukan pada usaha siswa mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru.  Disini jelas, proses pembelajaran yang dilakukan siswa tidak mungkin terjadi tanpa perlakuan guru. Yang membedakan hanya pada peranananya saja.
Bruce Weil (1980) mengemukakan tiga prinsip penting dalam proses pembelajaran, yaitu :
§  Pertama, proses pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau mengubah struktur atau kognitif siswa.
§  Kedua, berhubungan dengan tipe-tipe pengetahuan yang harus dipelajari. Ada tiga tipe pengetahuan yaitu: 1) Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat dari suatu objek atau kejadian seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi satu dengan yang lainnya. 2) Pengetahuan sosial berhubungan dengan perilaku individu dalam suatu sistem sosial atau hubungan antara manusia yang dapat mempengaruhi interaksi sosial. Contoh pengetahuan tentang aturan hukum, moral, nilai, bahasa, dan lain sebagainya. 3) Pengetahuan logika berhubungan dengan berpikir matematis, yaitu pengetahuan yang dibentuk berdasarkan pengalaman dengan suatu objek dan kejadian tertentu.
§  Ketiga, dalam proses pembelajaran harus melibatkan peran lingkungan sosial.  Anak akan lebih baik mempelajari pengetahuan logika dan sosial dari temannya sendiri. Melalui pergaulan dan hubungan sosial, anak akan belajar lebih efektif dibandingkan dengan belajar yang menjauhkan dari hubungan sosial. Oleh karena itu, melalui hubungan sosial itulah anak akan berinteraksi dan berkomunikasi, berbagi pengalaman dan lain sebagainya, yang memungkinkan mereka berkembang secara wajar.
Atas dasar uraian diatas, maka proses pembelajaran harus diarahkan agar siswa mampu mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah, meliputi kopetensi yang dimiliki, yang meliputi kopetensi akademik, kopetensi okupasional, kopetensi kultural, dan kopetensi temporal.
Dari penjelasan diatas, maka makna pembelajaran dalam konteks standar proses pendidikan ditunjukan oleh beberapa ciri yang dijelaskan berikut ini.
1.      Pembelajaran adalah proses berpikir
Belajar adalah proses berpikir. Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Menurut Bettencourt (1985) mengajar dalam berpikir adalah berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Dalam proses pembelajaran La Costa (1985) mengklafikasikan mengajar berpikir menjadi tiga, yaitu 1) Teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan lain sebagainya. 2)  Teaching for thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha untuk menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong terhadap perkembangan kognitif. 3) Teaching about thinking adalah pembelajaran yang diarahkan pada upaya untuk membantu agar siswa lebih sadar terhadap proses berpikirnya.
                                                    
2.      Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak  
Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu otak kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak memiliki spesialisasi  dalam kemampuan-kemampuan tertentu. Proses berpikir otak kiri, bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakuka penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbolis (De porter, 1992).
3.      Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat
Belajar adalah proses yang terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas, pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang kehidupannya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai tujuannya, manusia akan dihadapkan beberapa rintangan. Dikatakan manusia yang berhasil sukses manakala ia dapat menebus rintangan itru, dan dikatakan manusia gagal manakala ia tidak dapat melewati rintangan yang dihadapinya.  Atas dasar itulah sekolah berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar. Melalui kemampuan bagaimana cara belajar, siswa akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya.
Prinsip belajar sepanjang hayat seperti yang telah dikemukakan diatas sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan oleh UNESCO (1996), yaitu 1) Learning to know atau learning to learn mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar. 2) Learning to do mengandung pengertian bahwa belajr itu bukan hanya sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar untuk berbuat ddengan tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global. 3) Learning to be mengandung pengertian belajar adalah mebentuk manusia yang “menjadi diri sendiri“. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasi dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. 4) Learning to live together adalah belajar untuk bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok tak mungkin bisa hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompoknya.
 D. Teori-teori Belajar
            Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan: “Learning is the process by wich an activity originates or changed through training procedurs (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not atributable to training.” Bagi Hilgard, belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan alamiah. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
            Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat kita saksikan.
            Menurut John Locke, manusia merupakan organisme yang pasif. Ia menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan itu, memunculkan aliaran belajar behavioristik-elementeristik.
Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk memembuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusatnya adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan ini melahirkan aliaran beljar kognitif-holistik. Berangkat dari proses manusia yang berbeda, dalam menjelaskan terjadinya perilaku, kedua aliran teori belajar, yaitu aliran behavioristik-elementeristik dan aliran kognitif-holistik, memiliki perbedaan pula. Perbedaan keduanya seperti dapat dilihat pada table dibawah ini.

Perbedaan Aliran Behavioristik dan Kognitif

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
TEORI BELAJAR KOGNITIF
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan apa yang ada dalam diri
Mementingkan bagian-bagian
Mementingkan keseluruhan
Mengutamakan peranan reaksi
Mengutamakan fungsi kognitif
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
Terjadi keseimbangan dalam diri
Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
Tergantung pada kondisi saat ini
Mementingkan pembentukan kebiasaan
Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
Memecahkan masalah dilakukan dengan cara trial and error
Memecahkan masalah didasarkan kepada insight

            Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu, teori ini juga disebut dengan teori Stimulus-Respon. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.
Teori-teori belajar yang termasuk kedalam kelompok behavioristik diantaranya:
a. Koneksionisme, dengan tokohnya Thorndike
b. Classicak conditioning, dengan tokohnya Pavlop
c. Operant conditioning, yang dikembangkan oleh skinner
d. Systematic behavior, yang dikembangkan oleh Hull
e. Contiguous conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrin
            Sedangkan teori-teori yang termasuk kedalam kelompok kognirif holistic diantaranya :
a. Teori Gestalt, dengan tokohnya Kofka, Kohler, dan Wertheimer
b. Teori Medan (Field Theory), dengan tokohnya Lewin
c. Teori Organismik, yang dikembangkan oleh Wheeler
d. Teori Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers
e. Teori Konstruktivistik, dengan tokohnya Jean Piaget
1.      Beberapa Teori Belajar Behavioristik
a. Teori Belajar Koneksionisme
            Dikembangkan oleh Thorndike (1913), menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama.Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus-respon (S-R). Oleh karena itu lah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respon.
Selanjutnya, dalam teori koneksionisme ini Throndike mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut:
             a)  Hukum Kesiapan (law of readiness)
Menurut hukum ini, hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu.
             b) Hukum latihan (law of exercise)
Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Hubungan atau koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan (law of use); dan koneksi-koneksi itu akan menjadi lemah karena latihan tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse). Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasailah pelajaran itu. 

            c) Hukum akibat (law of effect)
Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu, konsep penting dari teori belajar koneksionisme, Throndike adalah yang dinamakan transfer of training.
b. Teori Belajar Classical Conditioning
            Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlop dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku dibantu dengan kondisi tertentu. Untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu.
c. Operant Conditioning
            Dikembangkan oleh Skinner, merupakan pengembangan dari teori Stimulus Respon. Berbeda dengan tokoh lainnya, Skinner membedakan dua macam respon, yakni respondent response (reflexive response) dan operant response (instrumental response). Respondent response adalah respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Respon ini relatif tetap, artinya setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respon tertentu.
 Dengan demikian perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respon yang ditimbulkan. Operant response (instrumental response) adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian disebut reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkust respon yang telah dilakukan organisme. Jadi dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah laku yang telah dilakukan.
            Pada perilaku manusia respondent response bersifat sangat terbatas, oleh karena itu sangat kecil untuk dimodifikasi. Sebaliknya operant response (instrumental response) sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat dimodifikasi sangat besar. Dengan demikian, untuk mengubah tingkah laku kita dapat menggunakan instrumental response.
            Skinner berpendapat bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau dipecah-pecahkan menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang spesifik. Selanjutnya, agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan pada setiap tingkah laku yang spesifik yang telah direspon, perlu diberikan hadiah (reinforcer) agar tingkah laku itu terus menerus diulang, serta untuk memotivasi agar berlanjut kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai akhirnya pada pembentukan tingkah laku puncak yang diharapkan.
Setiap komponen atau tingkah laku yang spesifik yang telah direspon anak perlu diberikan hadiah atau penguatan yang dapat menimbulkan rasa senang. Dengan demikian, anak akan terus mengulang perilaku tersebut dan melanjutkan pada komponen perilaku berikutnya.
2.      Teori Belajar Kognitif
      1) Teori Gestalt
Dikembangkan oleh Kofka, Kohler, Wertheimer. Menurut teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Namun teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku. Belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungan antara komponen yang ada dilingkungannya.
Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori gestalt, memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a). Kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangkan kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam kelompoknya.
b). Insight dipengarauhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
c). Insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
d). Pengertian merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat memecahlan persoalan. Pengertian itulah yang bisa menjadi kendaraan dalam memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
e). Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Disini terdapat semacam transfer belajar , namun yang ditransfer bukanlah materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi dan generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini ( Nasution,1982):
a.       Belajar itu berdasarkan keseluruhan
            Berbeda dengan teori belajar behavioristik yang menganggap bagian-bagaian lebih penting dari keseluruhan, namun teori ini justru menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagaian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat. Demikian juga kelaimat akan memiliki makna apabila ada dalam suatu rangkaian karangan.
           Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu maslah. Melalui maslah ini siswa dapat mempelajarai fakta.
b.      Anak yang belajar merupakan keseluruhan
            Prinsip ini mengandung pengertian bahwa mempelajarai anak itu bukan hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya.
Apa artinya kemampuan intelektual manakala tidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri anak. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada di dalam diri anak.
c.       Belajar berkat insight
            Telah diketahui bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permaslahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan pada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu, anak akan mendapat insight yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.
d.      Belajar berdasarkan pengalaman
            Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus menerus disempurnakan. Inilah hakikat pengalaman. Dengan demikian, proses pembelajaran adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.
     2) Teori Medan
            Dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori Gestalt, teori ini menganggap bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan maslah menurut Lewin dalam belajar adalah :
a). Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif.
b). Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Terkadang untuk mendapatkan daya tarik tersebut itu, seseorang dapat melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Itulah sebabnya selain diperlukan faktor pendorong melalui hadiah, juga diperlukan hukuman terutama apabila terjadi gejala-gejala perilaku yang tidak sesuai. Disamping itu, motivasi juga bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan.
    3) Teori Konstruktivitik
            Dikembangkan oleh Piaget. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakana. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan.
            Mengkonstruksi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan skema.  

Sumber buku:
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta, Kencana. 2009.